HUBUNGAN
INTENSITAS MENONTON TAYANGAN SINETRON
“MASIH
DI BAWAH UMUR” DENGAN PERUBAHAN PERILAKU REMAJA
DI KOTA SEMARANG
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Dalam dunia modern, komunikasi masyarakat didominasi
oleh media massa, dan media yang paling mendominasi aspek komunikasi modern
saat ini adalah televisi. Berkembangnya teknologi komunikasi masyarakat diikuti
juga dengan pertumbuhan industri pertelevisian yang kini telah merambah ke
seluruh pelosok negeri. Sayangnya dengan posisi televisi yang sedemikian
krusial, saat ini justru memprihatinkan karena banyak sekali stasiun televisi
lebih menekankan aspek hiburan dan mengabaikan aspek edukasi. Masing–masing
industri pertelevisian bersaing untuk mendongkrak rating dan jumlah penonton. Fenomena
maraknya sinetron remaja di televisi belakangan ini ditengarai memberikan
dampak pada berubahnya pola gaya hidup pada remaja masa kini. Remaja masa kini
cenderung mengidolakan para artis yang bermain dalam sinetron dan meniru apapun
yang dilakukan oleh artis idolanya dalam sinetron, sayangnya sinetron-sinetron
yang marak ini cenderung mengajarkan gaya hidup yang penuh hura-hura dan
kemewahan.
Ketergantungan terhadap televisi
terjadi pada seluruh kalangan usia khususnya kalangan remaja didasari oleh ketertarikan
remaja yang didorong oleh faktor rasa keingintahuan akan segala sesuatu hal
yang baru bagi remaja di lingkungan sekitar mereka. Masa remaja umumnya berada
pada rentang usia 12-21 tahun, kemudian masa remaja ini bisa dibagi menjadi remaja awal usia 12-15 tahun, remaja
tengah usia 15-18 tahun dan remaja akhir usia 18-21 tahun (Monks et al. Dalam
Asrori 2009 dalam Pinasthika 2010). Masa-masa remaja adalah masa dimana remaja
sedang dalam pencarian jati diri atau identitas. Dalam pencarian jati diri
tersebut remaja memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar tentang lingkungan
sekitarnya yang mereka anggap sebagai hal-hal yang baru. Dalam keadaan pencarian identitas ini remaja
lebih sering berpatokan pada dunia luar dan lingkungan sosial di sekitar
mereka. Sehingga dengan keadaan emosional yang masih labil masa remaja mudah
terpengaruh oleh dunia luar yang akan membentuk kepribadian mereka kelak. Hal ini merupakan bentuk perubahan psikologis
pada remaja yang sedang dalam masa transisi dari masa anak-anak menuju masa
dewasa. Dengan keadaan masa remaja yang sedang dalam masa transisi tersebut
juga mempengaruhi tingkat emosional yang masih labil dalam beradaptasi dengan
perubahan. Keadaan emosi remaja yang masih labil tersebut maka mereka dengan
mudah terpengaruh dengan faktor luar, salah satunya adalah pengaruh dari media
elektronik.
George Gomstock berpendapat bahwa
televisi telah menjadi faktor yang tak terelakkan dan tak terpisahkan dalam
membentuk diri kita dan akan seperti apa diri kita nanti (Vivian, 2008 : 224).
Dengan semakin seringnya waktu yang digunakan menonton televisi maka akan
semakin kuat pula pengaruh yang diberikan televisi terhadap mereka. Seperti
yang dikatakan Elisabeth Noelle- Neumann dalam Theory Cummulative Effect menyimpulkan
bahwa media tidak punya efek langsung yang kuat, tetapi efek itu akan terus
menguat seiring dengan berjalannya waktu (Vivian, 2008 : 472).
Begitu pula dengan tayangan sinetron berjudul masih dibawah
umur yang sering ditonton oleh remaja. Sinetron ini bercerita Berkisah tentang
dinamika kehidupan remaja di bawah umur, yang berpusat pada keluarga Tiara
(Nasya Marcella), gadis belia yang cantik, pintar dan berprestasi di
sekolahnya. Karena orang tuanya bercerai, ia pun harus pindah ke Jakarta dan
tinggal bersama ayahnya, Harris (Teddy Syach) dan kedua adiknya, Rendy (Ray
Prasetya) dan Putri (Andy Nadya). Sedangkan mamanya, Nadia (Vonny Cornelia)
terus berusaha untuk mendapatkan hak asuh atas ketiga anaknya.
Kehidupan keluarganya yang
berantakan membuat Tiara dan adik-adiknya harus berbesar hati dan beradaptasi
dengan lingkungan barunya. Di rumah, mereka sudah cukup direpotkan dengan sikap
ayahnya yang memaksakan diri untuk bisa menjadi ayah sekaligus ibu yang bisa
mengurus anak-anaknya. Harri pun bersikap sangat protektif, karena ia
menganggap anak-anaknya masih di bawah umur, sehingga belum memahami masalah
keluarga yang mereka hadapi.
Rendy dan Putri cukup cepat beradaptasi dengan lingkungan
sekolah barunya. Mereka pun langsung mendapat teman akrab dan disukai di
sekolahnya. Berbeda dengan Tiara yang cukup direpotkan dengan sikap teman-teman
barunya. Terutama sikap Cherry (Natasha Wilona) yang dulu pernah menjadi
rivalnya saat tanding cheers ketika ia masih aktif di sekolah lamanya. Belum
lagi sikap Samudra (M. Sidik Edward), yang sering mengganggunya, yang sekaligus
membuat Cherry semakin membenci Tiara, karena Cherry sangat menyukai Samudra.
Bahkan saat Tiara ingin bergabung dengan tim cheers sekolah, Cherry dan
teman-teman satu gengnya berusaha mencari cara untuk menggagalkannya. Samudra
yang tidak suka melihat tingkah laku Cherry pun berusaha membantu Tiara, karena
Samudra pada dasarnya senang menolong. Walaupun cucu orang kaya, ia tidak
pernah bersikap sombong dan bergaya sederhana. Lambat laun Tiara melihat bahwa
Samudra adalah anak yang baik walaupun jahil, ia pun akhirnya berteman baik
dengan Samudra.
Alur cerita yang ditampilkan dalam
sinetron ini seringkali memperlihatkan perilaku anak remaja yang sering
mengejek teman, merasa iri dengan keberhasilan teman yang lain, berperilaku
seperti orang dewasa mulai dari cara berpakaian, gaya bicara tentunya akan
mempengaruhi siapapun yang sering menyaksikan sinetron tersebut. Apabila hal
ini ditonton secara berulang-ulang dan terus menerus tentunya akan menimbulkan
perubahan perilaku pada remaja. Perubahan perilaku yang sering terjadi pada
remaja kebanyakan seperti (a) Perilaku berpakaian, (seperti selayaknya anak
dewasa, sehingga pakaian adat sering dilupakan); (b) Cara bahasa. Remaja
sekarang sudah mengandung kata kata lebay misalnya: jadi gue harus bilang waw gituuu,.,.,.,.,. dan cara berbicara pun
sudah kasar, tidak seperti yang dulu.
Gaya berpakaian merupakan bagian dari mode. Mode adalah
ragam (cara, bentuk) yang terbaru pada suatu waktu tertentu, misalnya,
potongan rambut, pakaian, corak hiasan, dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2001: 751). Sementara, mode merupakan suatu hal yang sering dikaitkan
dengan remaja, khususnya remaja putri. Mereka cenderung bersaing
untuk menampilkan mode terbaru dalam gaya berpakaian. Oleh karena itu,
mereka berusaha mencari referensi sebanyak-banyaknya dalam gaya berpakaian.
Salah satu referensi yang banyak berpengaruh berasal dari media
televisi. Media televisi menyajikan berbagai program acara yang menawarkan
banyak pilihan mode. Segmen mode yang ditampilkan dapat disaksikan melalui sinetron
remaja.
Peniruan yang dilakukan oleh remaja dalam cara berpakaian
maupun dalam gaya berbicara sebetulnya wajar apabila mengingat kondisi remaja
yang memang secara psikologis sedang mencari jati diri dan membutuhkan gaya
yang cocok dengan karakter kepribadian mereka, namun seringkali memunculkan
kesenjangan budaya dalam kehidupan mereka. Hal inilah yang perlu diwaspadai
karena belum tentu apa yang diikuti oleh remaja akan cocok dengan budaya dan lingkungan
di tempat mereka berada. Penelitian mengenai hubungan intensitas menonton
tayangan sinetron masih di bawah umur terhadap perubahan sikap remaja menjadi
penting untuk dilakukan untuk mengetahui adakah hubungan antara intensitas
menonton tayangan sinetron masih di bawah umur dengan perubahan perilaku
remaja.
1.2.
PERUMUSAN
MASALAH
Dari berbagai
fenomena yang disebutkan di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan
adalah : “Apakah intensitas tayangan sinetron berhubungan dengan perubahan
perilaku remaja di kota Semarang?.”
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Untuk
mengetahui hubungan intensitas menonton tayangan
sinetron “ masih dibawah umur” dengan perubahan perilaku remaja remaja di kota
Semarang.
1.4
SIGNIFIKASI PENELITIAN
1.4.1 . Signifikasi
akademik
Penelitian ini
diharapkan dapat mengembangkan teori-teori komunikasi massa yang berkaitan
dengan intensitas menonton tayangan sinetron khususnya yang berkaitan dengan perubahan
perilaku remaja.
1.4.2. Signifikasi
Praktis
Dalam penelitian ini
diharapkan dapat menjadi acuan remaja untuk mengetahui dampak sinetron “ masih
di bawah umur” bagi para remaja. Dan diharapkan dapat membantu memberikan
pengetahuan terhadap peran stasiun televisi sebagai media komunikasi bagi remaja
yang ada di kota Semarang
1.4.3. Signifikasi Sosial
Penelitian diharapkan
dapat menjadi bahan panduan bagi remaja dan orang tua tentang dampak dari
tayangan sinetron masih di bawah umur bagi para remaja, sehingga dalam menonton
tayangan sinetron bisa lebih selektif dan tidak meniru begitu saja pada
perilaku-perilaku dan gaya hidup yang ditampilkan melalui televisi.
1.5.
KERANGKA TEORI
1.5.1. Paradigma penelitian
Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan paradigma positivistik.
Paradigma menurut Guba dan Lincoln adalah keyakinan dasar atau cara pandang
yang membimbing peneliti, tidak hanya memilih metode tetapi juga dalam ontologi
dan epistemologi. Secara ontologi berarti memandang realitas sebagai sesuatu yang sudah
teratur, terpola, dapat diamati, dan terukur. Sedangkan secara epistemologi, maka kebenaran (pengetahuan) ada di luar diri manusia,
ilmu pengetahuan bersifat empiris, kausalitas,
universal, dan obyektif.
Penelitian dengan paradigma positivistik dilakukan untuk melakukan
verifikasi atau pengujian hipotesis dalam struktur logika hypothetical
deductive method, yaitu melalui survey dengan analisis kuantitatif.
Peneliti berperan sebagai disinterested scientist (orang yang bebas dari
kepentingan penelitian) sehingga peneliti harus memisahkan dirinya dari obyek
penelitian (value free). Sehingga ada obyektifitas, reliabilitas dan
validitas (internal dan eksternal) pada kualitas penelitian (Guba &
Lincoln, 1994:193-196).
1.5.1.
State of The Art
Beberapa penelitian
yang menjadi state of the art dalam
penelitian ini adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh Maya Fanz Dian
Puspita dari Universitas Sebelas Maret di tahun 2010 yang membahas mengenai
Hubungan antara Intensitas Menonton Tayangan Sinetron Kepompong di Televisi
dengan Citra Diri pada Remaja Puteri di SMP Negeri 6 Boyolali. Penelitian lain
yang menjadi state of the art atau
penelitian pendahuluan adalah penelitian mengenai Pengaruh Intensitas Menonton
Televisi dan Komunikasi Orang Tua-Anak terhadap Kedisiplinan Anak dalam
Mentaati Waktu Belajar yang dilakukan oleh Arista Fitriawanti dari Universitas
Dipoengoro di tahun 2010 dengan melakukan penelitian di MI Futuhian Palebon
yang menggunakan teknik proporsional
random sampling dan diambil 59 anak sebagai responden.
Penelitian dari Maya Fanz Diah Puspita dan Arista
Fitriawanti diambil sebagai state of the
art dalam penelitian ini dengan menambahkan variabel yang berbeda yaitu
variabel perubahan perilaku, sedangkan dari teori yang membedakan adalah dalam
penelitian ini menggunakan teori belajar sosial di samping teori uses and gratifications dan teori
kultivasi.
Fokus kajian dalam komunikasi massa adalah media massa.
Media massa adalah institusi yang menebarkan informasi berupa pesan berita,
peristiwa atau produk budaya yang mempengaruhi dan merefleksikan suatu
masyarakat (Bungin, 2008: 258). Menurut Effendy (1989: 361), television atau televisi
merupakan media komunikasi jarak jauh dengan penayangan gambar dan pendengaran
suara, baik melalui kawat maupun secara elektro magnetik tanpa kawat.
1.5.1.
Teori Uses & Gratifications
Teori ini
mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media
untuk pemuas kebutuhannya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai
mahluk supra-rasional dan sangat selektif. Menurut para pendirinya, Elihu
Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1984),
uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan
sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber
lain , yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan
pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat
lain.
Garramore
(1983) secara eksperimental menggali pengaruh ”rangkaian motivasi pada proses
komersialisasi politik melalui TV. Ia menemukan bahwa anggota audience secara
aktif memproses/mencerna isi media, dan pemrosesan ini dipengaruhi oleh
motivasi.
Teori yang dikemukakan oleh Blumler, Gurevitch dan Katz
(Griffin, 2003) ini menyatakan bahwa pengguna media memainkan peran yang aktif
dalam memilih dan menggunakan media. Pengguna media menjadi bagian yang aktif
dalam proses komunikasi yang terjadi serta berorientasi pada tujuannya dalam
media yang digunakannya. Littlejohn menyatakan bahwa teori ini menekankan fokus
pada individu khalayak ketimbang pesan dari media itu sendiri. Menurut Blumler
dan Katz (1974, dalam Fiske, 2007:213-214) beberapa asumsi mendasar dari uses and gratifications adalah sebagai berikut:
1)
Khalayak itu aktif.
Khalayak bukanlah penerima yang pasif atas apa pun yang media siarkan. Khalayak
memilih dan menggunakan isi program.
2)
Para anggota
khalayak secara bebas menyeleksi media dan program-programnya yang terbaik yang
bisa mereka gunakan untuk memuaskan kebutuhannya.
3)
Media bukanlah
satu-satunya sumber pemuasan kebutuhan.
4)
Orang bisa atau
dibuat bisa menyadari kepentingan dan motifnya dalam kasus-kasus tertentu.
5)
Pertimbangan nilai
tentang signifikansi kultural dari media massa harus dicegah. Semisal, tidaklah
relevan untuk menyatakan program-program infotainment
itu sampah, bila ternyata ditonton oleh sekian juta penonton.
Beberapa motif kebutuhan yang menyebabkan khalayak
menggunakan media menurut McQuail (dalam Miller, 2002:244) adalah information (kebutuhan
akan informasi dari lingkungan sekitar), personal identity (kebutuhan
untuk menonjolkan sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang), integration and social interaction (dorongan
untuk menggunakan media dalam rangka melanggengkan hubungan dengan individu
lain) dan entertainment (kebutuhan untuk melepaskan diri dari
ketegangan dan menghibur diri.
1.5.2. Teori kultivasi
Teori
kultivasi adalah teori sosial yang meneliti efek jangka panjang dari televisi
pada khalayak oleh George Gerbner dan Larry Gross dari University of Pennsylvania. Teori kultivasi ini berasal dari
beberapa proyek penelitian skala besar berjudul 'Indikator Budaya'. Menurut
teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para
penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Dengan
kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak pemirsa tentang masyarakat dan
budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa
dengan televisi, mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya,nilai (nilai
sosial) serta adat dan tradisi nya.
Menurut Miller (2005: 282), teori kultivasi tidak
dikembangkan untuk mempelajari "efek yang ditargetkan dan spesifik
(misalnya, bahwa menonton Superman akan mengarahkan anak-anak untuk mencoba
terbang dengan melompat keluar jendela) melainkan dalam hal akumulasi dan
dampak televisi secara menyeluruh, yaitu bagaimana masyarakat melihat dunia
dimana mereka hidup ". Oleh karena itu disebut 'Analisis Budaya'. Dalam
teori kultivasi dijelaskan bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton
televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang,
yaitu (1) para pecandu/penonton fanatik (heavy
viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam
setiap harinya. Kelompok penonton ini sering juga disebut sebagai khalayak ‘the television type”, serta (2) adalah
penonton biasa (light viewers), yaitu
mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya. Teori
kultivasi ini berlaku terhadap para pecandu / penonton fanatik, karena mereka
semua adalah orang-orang yang lebih cepat percaya dan menganggap bahwa apa yang
terjadi di televisi itulah dunia senyatanya sehingga mereka akan meniru apa
yang digambarkan oleh televisi.
1.5.3. Teori Belajar Sosial menurut Bandura
Teori belajar sosial atau Learning Social Theory adalah teori yang mengatakan bahwa orang belajar
dari yang lain, melalui observasi, peniruan, dan pemodelan. Teori belajar
sosial menjelaskan perilaku manusia dalam hal interaksi timbal balik yang
berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Orang
belajar melalui pengamatan perilaku orang lain, sikap, dan hasil dari perilaku
tersebut. “Kebanyakan perilaku manusia dipelajari observasional melalui
pemodelan yaitu dari mengamati orang lain. Kemudian hasilnya berfungsi sebagai
panduan untuk bertindak.” Dalam penelitian mengenai hubungan antara tayangan
sinetron masih di bawah umur dan perubahan perilaku remaja, maka bisa
diasumsikan bahwa remaja belajar mengenai lingkungan sosialnya melalui televisi
dan hasil dari belajar inilah yang kemudian berfungsi sebagai panduan untuk bertindak
dan menyebabkan perubahan perilaku pada remaja yang intens menonton tayangan
sinetron tersebut.
Kondisi yang diperlukan untuk pemodelan yang efektif
adalah (a) Adanya atensi (perhatian) – bagi seorang individu untuk belajar
sesuatu, mereka harus memperhatikan fitur dari perilaku yang dimodelkan.
Termasuk kekhasan, afektif valensi, prevalensi, kompleksitas, nilai fungsional.
Karakteristik seseorang (kapasitas sensoris misalnya, tingkat gairah, mengatur
persepsi, penguatan sebelumnya) juga mempengaruhi perhatian. (b) Retensi
(ingatan) – manusia harus mampu mengingat detail dari perilaku untuk belajar
dan kemudian mereproduksi perilaku. Termasuk pengkodean simbolis, gambaran
mental, kognitif organisasi, latihan simbolis, latihan motorik. (c) Reproduksi
– dalam mereproduksi perilaku, seseorang harus mengatur tanggapan nya sesuai
dengan perilaku model. Kemampuan ini dapat ditingkatkan dengan praktek. (d) Motivasi
– memiliki alasan yang baik untuk meniru. Termasuk motif seperti harapan masa
lalu (behaviorisme tradisional), menjanjikan (insentif yang dibayangkan) dan
perwakilan (melihat dan mengingat model yang patut ditiru).
1.6.
HIPOTESIS
Terdapat hubungan antara intensitas menonton tayangan
sinetron “masih di bawah umur“ dengan perubahan perilaku remaja. Ini berarti
bahwa semakin tinggi intensitas menonton tayangan sinetron “masih di bawah
umur” maka akan semakin tinggi perubahan perilaku remaja.
1.7.
DEFENISI KONSEPTUAL
1.7.1.
Intensitas Menonton Tayangan Sinetron
Intensitas dari bahasa
Inggris "intensity" yang berarti: (a) quality of being intense: the strength, power, force, or concentration
of something; The pain increased in intensity; (b) intense manner: a passionate
and serious attitude or quality; a rare emotional intensity in her work
(Microsoft® Encarta® Reference Library 2005). Intensitas berarti kualitas dari
tingkat kedalaman: kemampuan, kekuatan, daya atau konsentrasi terhadap sesuatu
atau tingkat keseringan atau kedalaman cara atau sikap, perilaku seseorang. Intensitas
dalam kehidupan sehari-hari menggambarkan tingkat atau ukuran (tim penyusun
kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, 1998). Selanjutnya, dalam kamus
Bahasa Inggris intensitas di istilahkan dengan intensity, diartikan
dengan kehebatan (hebat,kuat) (Echols & Shadily, 1997). Azhwar (1998)
mengartikan intensitas sebagai kekuatan atau kedalaman sikap terhadap sesuatu.
Sementara Dahrendorf (dalam Zamroni,1992) menyatakan bahwa intensitas adalah
sebuah istilah yang terkait dengan “pengeluaran energi” atau banyaknya kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang dalam waktu tertentu.
Menonton berarti aktivitas melihat sesuatu dengan tingkat
perhatian tertentu (Sudarwan Danim, 1995:20). Menonton televisi yaitu aktivitas
melihat siaran televisi sebagai media audio visual dengan tingkat perhatian
tertentu. Menurut Day (2004:113)
tayangan adalah suatu pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar
atau suara dan gamabr, atau berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat
interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan
dan siap untuk dipertunjukkan. Sinetron merupakan kependekan dari sinema
elektronik. Selanjutnya dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, sinema
sendiri mempunyai arti gambar hidup atau film. Sedangkan elektronik yang
berasal dari kata elektronika dalam
kamus Bahasa Indonesia Kontemporer adalah cabang ilmu Fisika yang berhubungan
dengan pembuatan aktivitas, dan efek-efek dari elektron dalam gerakan dalam
tabung kosong, tabung berisi gas, semi konduktor, dan peralatan-peralatan
lainnya. Dari pengertian di atas sinetron sendiri merupakan gambar hidup atau
film yang muncul dari peralatan elektronis yakni televisi. Sedangkan sinetron dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah film yang dibuat khusus untuk penayangannya di media elektronik seperti
televisi. Pengertian sinetron yang lain adalah sekumpulan konflik-konflik yang disusun
menjadi suatu bangunan cerita yang dituntut untuk dapat menganalisagejolak
batin, emosi dan pikiran pemirsa yang ditayangkan di media televisi.
1.7.2. Perubahan Perilaku
Pengertian perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas
manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak
luar (Notoadmojo 2003 dalam Nando 2011). Perilaku remaja adalah kegiatan yang
dilakukan oleh remaja yang terbentuk dengan pengaruh dari faktor
perkembangan dalam diri remaja dan faktor perkembangan sosial di lingkungan
sekitarnya. Menurut Hurlock (1980) dalam Valentine (2009) perubahan fisik yang
terjadi selama tahun awal remaja mempengaruhi tingkat individu dan mengakibatkan
diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah bergeser.
Perubahan perilaku yang terjadi pada remaja dapat dalam
bentuk perubahan secara kognitif, afektif, dan konasi. Perubahan kognitif
merupakan perubahan dalam pengetahuan tentang suatu hal yang dimiliki.
Perubahan afektif merupakan perubahan dalam menyikapi suatu hal. Perubahan
konasi merupakan perubahan dalam perilaku atau tindakan dengan menggunakan
suatu cara tertentu. Remaja yang sedang dalam masa transisi memiliki beragam
tujuan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka, antara lain untuk
mendapatkan informasi yang saat ini menjadi topik pembicaraan banyak orang,
mendapat hiburan ketika bosan, mencari jalan keluar atas masalah mereka dan
memungkinkan sekedar mengisi waktu luang.
1.8. DEFINISI OPERASIONAL
Variabel-variabel
penelitian yang telah diuraikan secara konseptual di atas dapat
dioperasionalisasikan sebagaimana berikut :
1.8.1. Intensitas
menonton tayangan sinetron
Untuk mengetahui tingkat intensitas
menonton tayangan dapat diukur
melalui indikator sebagai berikut :
- frekuensi, seberapa sering menonton
tayangan sinetron
- durasi, seberapa lama menonton
tayangan sinetron
1.8.2. Perubahan
perilaku
Perubahan
perilaku dapat diukur melalui indikator sebagai berikut :
-
cara bebicara
-
cara berpakaian
-
gaya potongan rambut
-
aksesoris yang dikenakan
1.9. METODE PENELITIAN
1.9.1.
Tipe penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah eksplanatif dengan
metoda survei. Yaitu penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulan data yang pokok (Singarimbun, 1995:3). Penelitian survai ini
digunakan untuk maksud penjelasan (eksplanatory), yaitu untuk menjelaskan
hubungan kausal antar variabel penelitian dan untuk pengujian hipotesa (Singarimbun,
1995:4). Dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan hubungan antara intensitas menonton tayangan sinetron “masih di
bawah umur” dengan perubahan perilaku remaja.
1.9.2. Populasi dan sampel
“Populasi
adalah keseluruhan subjek penelitian” (Arikunto, 1996: 115). “Populasi
merupakan keseluruhan individu atau objek yang diteliti yang memiliki beberapa
karakteristik yang sama “(Latipun, 2002: 29). Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka
dapat diartikan bahwa populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang
memiliki karakteristik yang sama. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah remaja di kota Semarang yang berusia antara 10-14 tahun sebagai remaja
awal. Dari data banyaknya penduduk
menurut kelompok usia di Kota Semarang tahun 2011 dapat diketahui jumlah
keseluruhan populasi adalah sebanyak 118.879.
Banyaknya
Penduduk Menurut Kelompok Usia
Di
Kota Semarang
Tahun
: 2011
Kecamatan/District
|
Kelompok Usia/Age
Group
10-14 tahun
Laki-laki
Perempuan
|
Jumlah
|
Mijen
|
2.451 2.207
|
4.658
|
Gunung Pati
|
2.833 2.870
|
5.703
|
Banyumanik
|
4.934 4.474
|
9.408
|
Gajah Mungkur
|
2.194 2.051
|
4.245
|
Semarang Sltn
|
2.903 2.588
|
5.491
|
Candisari
|
2.941 2.723
|
5.663
|
Tembalang
|
6.115 5.665
|
11.780
|
Pedurungan
|
7.382 7.038
|
14.420
|
Genuk
|
3.941 3.852
|
7.793
|
Gayamsari
|
2.881 2.665
|
5.546
|
Semarang Timur
|
2.957 2.552
|
5.509
|
Semarang Utara
|
4.859 4.778
|
9.636
|
Semarang Tengah
|
2.421 2.152
|
4.573
|
Semarang Barat
|
6.280
5.929
|
12.208
|
Tugu
|
1.285 1.189
|
2.474
|
Ngaliyan
|
4.979 4.792
|
9.771
|
Jumlah Total
|
61.355 57.525
|
118.879
|
Sumber
: Buku Kota Semarang dalam angka tahun 2011
terbitan BPPS Kota Semarang
Adapun teknik pengambilan sample yang digunakan dalam
penelitian ini adalah stratified
purposive random sampling karena dalam penelitian ini yang akan menjadi
sampel adalah remaja yang menonton sinetron “masih di bawah umur”. Dari
keseluruhan wilayah yang ada di kota Semarang kemudian dibagi lokasi penelitian
berdasarkan wilayah geografis menjadi 3 wilayah yaitu : (a) dataran rendah
(Semarang bawah) yang terdiri dari kecamatan Pedurungan, Genuk, Gayamsari,
Semarang Timur, Semarang Utara, Semarang Tengah, Semarang Barat, Tugu dan
Ngaliyan. (b) Dataran sedang (Seamarang Candi dan sekitarnya) yang terdiri dari
Kecamatan Gajah Mungkur, Semarang Selatan, Candisari dan Tembalang; (c) Dataran
tinggi (Semarang atas) yang terdiri dari kecamatan Mijen, Gunungpati dan
Banyumanik. Dari pembagian tiga wilayah itu kemudian ditentukan masing-masing
secara acak kelurahan yang akan dijadikan lokasi penelitian, dan dari sejumlah
populasi dapat diketahui sample size
berdasarkan rumus Slovin :
Keterangan : n =
Ukuran sampel
N = Ukuran populasi
e = Kelonggaran ketidak pastian (kesalahan yang
ditolerir, 5 %)
118.879
n =
1 + 118.879 (5%)²
118.879
n =
1 + 118.879 (0,05)²
118.879
n =
1 + 118.879 (0,25)
118.879
n =
1 + 29.719
118.879
n =
30,719
n =
3.869
dibulatkan menjadi 4.
1.9.3.Sumber
Data
1. Data
primer = Responden
Data primer adalah data yang didapatkan atau
dikumpulkan secara sendiri. Data primer juga bisa didapatkan dengan mewawancari
responden, observasi atau penelitian secara langsung dilapangan dan diharapakan
dapat mempertajam hasil penelitian.
2. Data
sekunder = Kepustakaan
data sekunder yaitu data dokumentasi yang
diperoleh dari berbagai pihak terkait, hasil penelitian orang lain, dan artikel
yang relevan dengan masalah yang diteliti.
Sebelum pengumpulan data penelitian yang sebenarnya, dilakukan
terlebih dahulu tahap orientasi, artinya peneliti dengan menggunakan metode
observasi partisipatif melakukan pengamatan terhadap subyek penelitian. Dalam
penelitian sumberdata kami peroleh dari Badan Pusat Statistik ( BPS ) yang kami
peroleh dari webside
http://semarangkota.bps.go.id/Subyek_Statistik/03.Penduduk&Tenaga_Kerja/umur.pdf
1.9.4. Metode
Pengumpulan Data
Dalam
setiap kegiatan penelitian selalu ada kegiatan pengumpulan data. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini menurut Sulistyo-Basuki (2006: 147)
meliputi:
1.
Observasi nonpartisipan ( Pengamatan tidak terkendali)
Pada
metode ini peneliti hanya mengamati, mencatat apa yang terjadi. Metode ini
banyak digunakan untuk mengkaji pola perubahan perilaku remaja yang menonton
sinetron “masih di bawah umur”
2.
Kuesioner
Kuesioner
adalah pertanyaan terstruktur yang diisi sendiri oleh responden atau diisi oleh
pewawancara yang membacakan pertanyaan dan kemudian mencatat jawaban yang
berikan (Sulistyo-Basuki, 2006: 110). Pertanyaan yang akan diberikan pada
kuesioner ini adalah pertanyaan menyangkut fakta dan pendapat responden,
sedangkan kuesioner yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner
tertutup, dimana responden diminta menjawab pertanyaan dan menjawab dengan
memilih dari sejumlah alternatif. Keuntungan bentuk tertutup ialah mudah
diselesaikan, mudah dianalisis, dan mampu memberikan jangkauan jawaban.
3. Wawancara terstruktur
Wawancara terstruktur adalah wawancara dengan
menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Pertanyaan yang
sama diajukan kepada semua responden, dalam kalimat dan urutan yang seragam(Sulistyo-Basuki,
2006: 110). Wawancara yang dilakukan meliputi identifikasi faktor-faktor
perubahan perilaku remaja.
1.9.6.
Analisa Data
analisis kuantitatif,
mengunakan alat analisis yang bersifat kuantitatif yang berdasarkan pada metode
statistic yang berguna untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian. Analisis
kualitatif, mengolah data yang di peroleh dari lapangan dan menginterprestasikan
berdasarkan teori teori yang ad di dalam penelitian.
8
validatas dan rehabilitas data
Validalitas di gunakan
untuk mengukur sah atau tidaknya koesioner. Suatu koesioner mampu mengungkapkan
suatu yang akan diukur oleh koesioner tersebut ( ghozali, 2009:49)
Berkaitan denga pengujian validitas
instrument menurut riduwan( 2007: 109-110) menjelaskan bahwa validitas adalah
suatu ukuran yang menunjuakn tingkat keandalan atau keshaliahan suatu alat
ukur. Alat ukur yang kurang valid berarti memilki validalitas rendah. Untuk menguji validalitas alat ukur, terlebih
dahului dicari harga korelasi antara bagian bagian alat ukur secar keseluruhan
dengan cara mengkorelasikan setiap butir alat ukur. Dengan skor total yang
merupakan jumlah setiap sekor butir.
1.10. KETERBATASAN PENELITIAN
1.10.1. Keterbatasan teoritis
Secara teoritis penelitian
ini masih dalam keterbatasan karena hanya melihat pada lingkup variabel
perubahan perilaku, penelitian ini akan lebih berkembang apabila menggunakan
variabel-variabel lain dari tiap tahapan dalam teori uses and gratifications,
dan teori lain yang digunakan dalam penelitian ini.
1.10.2. Keterbatasan
metodologi
Secara metodologis
penelitian ini terbatas pada jumlah sampel yang diambil mengingat keterbatasan
waktu dan juga kemampuan peneliti sebagai mahasiswa fakultas ilmu komunikasi Unissula angkatan
2011.
1.10.13. Keterbatasan
Praktis
Penelitian ini hanya
diorientasikan pada salah satu sinetron remaja dan hanya remaja di tahap awal
bukan pada seluruh tahapan remaja, hal ini didasarkan karena pertimbangan remaja di tahap awal lah yang masih rentan
dengan dampak terpaan tayangan sinetron.
Catatan kaki
validitas
instrument menurut riduwan( 2007: 109-110)
Daftar pustaka
- Sumber
: Buku Kota Semarang dalam angka
tahun 2011 terbitan BPPS Kota Semarang
- http://semarangkota.bps.go.id/Subyek_Statistik/03.Penduduk&Tenaga_Kerja/umur.pdf
- subjek
penelitian” (Arikunto, 1996: 115).
- Miller
(2005: 282), teori kultivasi
- Noelle-
Neumann dalam Theory Cummulative Effect
- http://semarangkota.bps.go.id/Subyek_Statistik/03.Penduduk&Tenaga_Kerja/umur.pdf
kak, minta daftar pustakanya 1.7.1. Intensitas Menonton Tayangan Sinetron dong, makasih
BalasHapus